Kesehatan Mental di Dunia Kerja (Part 1)


Dunia kerja seringkali memunculkan stressor (pemicu stres) bagi karyawan yang tidak nyaman atau tidak puas dengan lingkungan kerja. Meskipun begitu, faktor personal seperti biologis serta genetik juga dapat mempengaruhi seseorang mengalami stres kerja yang dapat berakhir pula menjadi gangguan mental.

Sebuah Kasus
Suatu kali, saya mendapat klien (Sebut saja 'L') yang mengalami penurunan produktifitas. L telah bekerja di perusahaan selama 2 tahun dan memiliki kepribadian yang tenang serta mudah diatur. Akan tetapi,2 minggu terakhir ia sering absen kerja, sulit diatur, dan cenderung melakukan pelanggaran seperti merokok saat jam kerja. Setelah dipanggil oleh atasan, ternyata ia memberikan surat dokter yang menunjukkan bahwa L didiagnosis epilepsi. Riwayat lain dituliskan dokter dengan kode F20 (dalam psikologi, F20 merupakan kode terhadap gangguan mental skizofrenia). Lalu, atasannya meminta saya untuk melakukan konseling terhadap L. Sebelumnya saya jelaskan sedikit tentang skizofrenia yang orang awam sebut 'gila'. L didiagnosa skizofrenia sejak 5 tahun lalu. Pihak perusahaan merasa ingin memutus hubungan kerja karena L dikhawatirkan akan membahayakan. Padahal, berdasarkan hasil konseling saya dengan L, ia cukup komunikatif dan cenderung masih bisa mengontrol emosinya. Hal tersebut terlihat ketika saya bertanya mengenai kasus merokok pada jam kerja. L nampak terdiam dan beberapa kali menarik nafas. Saya cukup panik dan meminta L untuk mengabaikan pertanyaan saya. L justru menjawab bahwa ia mampu menjawabnya, namun butuh waktu untuk tenang sebentar. L lalu menjelaskan bahwa alasannya merokok di jam kerja adalah karena ia harus mengkonsumsi semacam obat penenang yang memiliki efek samping mengantuk. Oleh karena itu, L mengantisipasi rasa mengantuknya dengan merokok atau minum kopi. L juga mengakui bahwa dirinya sudah didiagnosa skizofrenia 5 tahun lalu. Ia mencoba menyembunyikan penyakitnya tersebut karena malu dan minder. Pihak HRD berupaya untuk melakukan PHK kepada L karena dianggap tidak produktif dan meresahkan rekan kerjanya karena penyakitnya. Namun saya sangat tidak setuju dengan hal tersebut karena menurut saya, L masih mampu diarahkan.

Dari kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa orang dengan gangguan jiwa masih belum bisa diterima dengan baik oleh lingkungan kerja. Berdasarkan Undang-undang nomor 8 tahun 2016 disebutkan bahwa orang dengan gangguan mental adalah termasuk disabilitas di mana hak-haknya dilindungi penuh oleh masyarakat. Hal tersebut didukung oleh Undang-undang nomor 18 tahun 2014 bahwa penyandang disabilitas juga memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Berdasarkan pertimbangan banyak pihak seperti Manager, rekan kerja, HRD, dan anggota serikat pekerja, L diminta untuk istirahat dan menjalani terapi selama 1 bulan dengan terus mendapat pantauan oleh pihak perusahaan. Jika dalam kurun waktu tersebut L tidak menunjukkan progress lebih baik, maka perusahaan akan memutus hubungan kerja.


Jika kamu punya pengalaman yang sama, sharing yuk di kolom komentar :)

Comments

Popular posts from this blog

Im getting married

Kontroversi Doktor Psikologi : The Differences of Psychology Licence

Tim Rebahan Wajib Baca